Tuesday, April 4, 2017

Pengalaman Pertama Mengunjungi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru


Pada tanggal 26 Januari 2013 saya berkesempatan untuk pertama kalinya mengunjungi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Saya kesana bersama ketiga teman saya. Kami berangkat pukul 23.00 dari rumah, kami melaju menuju Kota Malang, dan sempat beristirahat sebentar. Biasanya jarak rumah dengan Malang wajar ditempuh dalam waktu 2,5 jam. Tapi kali ini hanya 1 jam saja, faktor jalanan yang sepi karena malam hari, serta teman saya yang kemampuan riding nya cukup spektakuler lah yang menjadi faktor penentu cepatnya perjalanan ini. Kami kemudian melanjutkan perjalanan melewati Singosari, Lawang, Pasuruan, kemudian berbelok ke arah Nongkojajar. Lewat desa itulah perjalanan kami menuju Bromo, jadi tidak lewat Probolinggo karena terlalu memutar nantinya.
Perjalanan ini kami mengandalkan GPS yang dibawa oleh salah seorang temanku. Jadi motor kami di depan, sedangkan motor teman kami berada di belakang. Saat ada belokan, kami tak lupa mengecek GPS terlebih dahulu. Hingga suatu ketika kami ditemukan oleh perempatan, disana ada sebuah mobil polisi. Kami tidak bertanya, dan tetap mengandalkan GPS. Karena salah belok-belok terus, bapak-bapak polisi tadi curiga, karena jam juga sudah hampir menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Dengan sedikit teriakan kami ditanya hendak kemana, jadi kami berhenti dan menjelaskan maksud tujuan kami.
Kabut pagi di Penanjakan Bromo
Arah sebenarnya jika mengikuti petunjuk GPS adalah lurus ke arah gang di depan. Tapi kata bapak polisi itu, belok ke kanan saja mengikuti marka jalan, karena kalau ngambil jalan lurus, akan amat sangat berbahaya dan beresiko (rawan tindak kejahatan) apalagi di malam hari. Jadilah kami berbelok ke kanan mengikuti saran bapak polisi tadi. Untunglah... (inilah kelemahan dari GPS walau sangat akurat dan bisa diandalkan) sepintar-pintar teknologi, kita tetap membutuhkan uluran tangan dan bantuan manusia #PelajaranBerharga. Makasih banyak ya pak :)
Perjalanan kami kedepan sedikit banyak diterpa cobaan. Mulai dari jalanan amat sepi yang berkelok-kelok, naik dan turun, jalan yang rusak dan tidak cocok dengan motor kami, selain itu tidak ada orang satu pun selain kami yang terlihat berkendara di jalan tersebut, serta kabut tebal yang menutup jalanan dan hanya memungkinkan penglihatan dalam jarak 1 meter melihat jalan di depan. Sampai kadang-kadang marka jalan pun sempat tidak terlihat! Masih ditambah dengan udara malam yang dinginnya minta ampun...
Pasir Berbisik
Pernah di suatu jalan, kami berempat galau, apakah mau lanjut atau berbalik arah lewat Probolinggo saja. Karena kondisi jalanan sangat buruk, jalan sangat rusak, kabut tebal, jalan sangat sepi. Hampir saja kami berbalik arah, tapi dengan keteguhan tekad untuk melihat sunrise di Bromo, niat itu urung kami lakukan. Sering juga motor teman kami tertinggal jauh dalam jalanan berkabut yang super dingin itu. Perasaan takut dan kedinginan selalu menghantui sepanjang perjalanan kami. Hiiii...
Sampai pada suatu pos, kami berhenti dan menggunakan jasa penduduk sekitar yang menawarkan jasa mengantarkan. Kami diantarkan hingga hampir jalan masuk ke Bromo. Air di sekitar Bromo sungguh... dingin! Bayangkan, saking dinginnya air itu sampai terasa panas jika terkena kulit... OMG!
Salah seorang suku Tengger yang menyewakan jasa kuda

Sekitar pukul setengah empat pagi (akhirnya) kami sampai ke Bromo dengan aman dan selamat. Cuaca sangat dingin tapi pengunjung membludak baik lokal maupun manca negara. Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar di warung kopi sebelum Penanjakan dan sedikit menghangatkan diri sebentar di sebuah warung tersebut, untuk kemudian melihat sunrise.
Sekitar pukul empat lebih, kami memutuskan naik ke Penanjakan. Disana sudah banyak orang yang menunggu matahari terbit. Waktu sunrise tiba, betapa apesnya saya dan yang lainnya karena sunrise itu.. tertutup kabut!!
Pagi berkabut di Penanjakan Bromo

Saya hanya sempat sedikit melihat sunrise yang masih malu-malu mengintip, sisanya hanya asap putih, yap! Kabut. semua orang sama kecewanya dengan saya pada waktu itu.. Saya berfoto-foto sampai sekitar pukul sembilan di Penanjakan, kemudian berpindah lokasi ke Kawah, yang mana akan melewati lautan pasir berbisik.
Pasir Berbisik
Kami tidak menggunakan jasa jeep, ojeg, maupun kuda untuk bisa sampai ke kawah. Kami hanya bermodalkan motor serta kaki untuk berjalan sampai menuju bibir kawah. Anak tangga yang harus dilalui untuk menuju Kawah sangat... banyak! Panjang! Dan tidak kunjung berakhir! Hooooosshhhh..! Naik ke Kawah membutuhkan perjuangan lebih daripada sekedar niat dan kemampuan. 
Tangga menuju kawah Gunung Bromo

Tapi saat berada di bibir Kawah Bromo, semua rasa capai terbayarkan lunas. Pemandangannya sungguh luar biasa! Sampai pada saatnya saya dan kawan-kawan harus pulang pada pukul 11 siang, rasanya berat melangkahkan kaki meninggalkan tempat tersebut... ya, semoga kita segera bertemu lagi, Bromo :)
Saya dan teman-teman di Bromo

Oh ya, ada yang lupa kuceritakan. Kebanyakan penduduk Bromo (Suku Tengger) disana, yang perempuan pasti menyelempangkan selembar kain di tubuhnya. Sedangkan bapak-bapak disana sering menggunakan sarung yang tetap diselempangkan juga di badannya. Dalam perjalanan pulang, saya juga menemui, bangunan rumah dan desa di sana sungguh unik. Rumah-rumah dibangun diatas tebing, dan rumah tersebut tidak ada yang memiliki cat berwarna putih. Semua berwarna-warni, dan sangat indah jika dilihat dari kejauhan.

Rumah Berwarna-warni di kawasan Bromo

Jadi, apakah kalian juga sudah mengunjungi kawasan Nasional Bromo Tengger Semeru? Cerita yuk!









0 comments:

Post a Comment

Add Coments Below :