Friday, January 26, 2018

Destinasi Anti Mainstream di Bali


Halo para pembaca, ini adalah cerita jalan-jalan saya ke Bali pada Bulan Februari 2016. Memang sudah agak lama, tapi saya yakin isi ceritanya bisa bersifat lifetime, hehe. Nah, bagi yang pengen jalan-jalan ke Bali tapi males ke destinasi yang itu-itu aja, semoga curhatan cerita saya ini bisa menjadi inspirasi baru ya!
Agar lebih mudah, saya akan mengemas cerita ini langsung dalam bentuk itinerary, jadi kamu yang ingin kesana-kemari di Bali tapi masih kebingungan ngatur jadwalnya, bisa copy-paste aja deh itinerary berikut ini. Sips

Day one :
Saya sampai di Bali sore hari karena insiden pesawat yang delay agak kebangetan. Dan yah, karena sampai Bali susah sangat laper, maka dari bandara saya langsung meluncur ke Nasi Tempong Indra (itu satu-satunya tempat makan bebas pork yang saya familiar dan enak *pada saat itu) yang berlokasi di jalan Dewi Sri. Oh ya harga makan disini tergolong menengah ke atas ya, harganya bisa sedikit premium tergantung komposisi lauk yang dipilih. Selain lauknya yang banyak variasi, yang paling penting adalah sambelnya. Hmm..  pedeeeesss nya nendang banget gak ada tandingan *eh banyak ding tandingan sambelnya di Surabaya, hihi
Abis makan saya jalan muter-muter daerah Denpasar sebentar, itung-itung pengenalan medan biar agak hafal gitu lah. Dan yah, akhirnya kesasar dan malah nyampek ke Kuta, haha. Tapi disana saya nggak mampir, cuma nglewatin aja. Trus karena bingung mau kemana, dan udah malem, akhirnya perjalanan berakhir di toko oleh-oleh Krisna. Nice!
Day two :
Tari Barong
Rencana utama hari kedua ini adalah nonton pertunjukan Tari Barong, dan menurut info, daerah yang terkenal sebagai pusat pementasan Tari Barong ya di daerah Batubulan, Gianyar. Menurut maps sih lumayan deket juga sama daerah Sukawati. Sampai sana saya agak bingung karena banyaknya sanggar kesenian yang menampilkan pementasan Tari Barong (sebelumnya saya sudah booking and paid tiket via online di salah satu sanggar pementasan). Nah, masalahnya adalah, di tiket tersebut gak dikasih tahu alamatnya dengan jelasl. Sehingga saya tanya bapak polisi yang kebetulan lagi patroli didaerah situ. saya diantar ke Tari Barong Sila Budaya (baik bener pak). Usut punya usut, ternyata bapak tersebut mengharapkan beberapa tips (ealaaah). Untung waktu itu saya nggak ‘ngeh’ sama situasi, jadilah bapak itu tetap nggak-dapet-apa-apa-walaupun-mengharapkan. Hahaha.. maap ya pak! Piss
Pementasan Tari Barong lumayan bagus, inti cerita pementasan ini adalah tentang hal baik melawan hal buruk yang tidak pernah berkesudahan dan akan tetap terus ada sepanjang masa. Saya juga kagum sama penari perempuan yang menari khas Bali itu (luwes banget!). Cuma yang bikin saya paling sedikit takut adalah Barongnya. Dengan visual besar dan mata belo’, ngeri deh (walaupun dia sebenernya tokoh baik). Ya, agak serem aja gitu lihatnya, apalagi saya duduk kursi paling depan sendiri di tengah.
Next destination adalah Desa Adat Penglipuran di Bangli. Namun dalam perjalanan kesana, saya melewati sebuah Pura yang lumayan ramai oleh pengunjung. Akhirnya saya mampir. Sebelum masuk Pura, harus pakai Kamen dulu (kain adat khas Bali untuk upacara dan hal-hal adat lainnya). Nama Pura ini adalah Batuan Temple atau Pura Batuan. Cuma di dalam Pura luas banget ternyata areanya, bagus dan magis.
Pura Batuan
Puas berjalan-jalan dan berfoto di dalam Pura, saya kembali melanjutkan perjalanan ke Desa Adat Penglipuran. Desa ini adalah pionir desa adat di Bali, yang sekaligus dijadikan sebagai tempat wisata. Keren banget tempatnya. Kalau kesini, benar-benar merasa seperti “Bali banget”. Mulai dari suasana, rumahnya, jalan depan rumah, semua Instagramable banget. Hhee.. Tidak jauh dari desa ini, ada semacam hutan bambu, tempat wisata juga. Mungkin karena sudah sore, tempat ini cukup sepi, dan hanya saya pengunjung yang mampir kesitu. Sehingga saya tidak begitu mengeksplore hutan bambu ini secara lebih jauh lagi.

Desa Adat Penglipuran
Hutan Bambu Penglipuran
Untuk rute pulang, saya mengambil jalan kearah Pura Gunung Kawi. Ya, destinasi saya berikutnya adalah Pura Gunung Kawi. Salah satu situs yang terdaftar sebagai warisan dunia (wow!). Sebelum sampai disana, saya mampir (karena melewati) ke Pura Tirta Empul, semacam tempat pemandian suci. Karena saya sedang tidak berminat untuk basah-bahasan, jadi saya cuma mampir untuk makan siang disana. Ketika sampai di Pura Gunung Kawi, saya harus memakai kain yang dililit di pinggang sebelum memasuki area Pura. Kemudian sebelum memasuki area Pura, harus mencipratkan semacam air suci dari dalam sebuah kendi. Tidak disangka, perjalanan menuju Pura tersebut ternyata harus melewati ratusan anak tangga. Alamaakk.. cobaan macam apa pula ini?? Nah, waktu menuruni ratusan anak tangga itu, lutut saya sudah bergetar-getar hebat. Nah bagaimana naiknya nanti ya? Mari kita pikirkan belakangan saja. Haha.. Tapi benar saja, waktu naik ratusan anak tangga tersebut, tiada kata apalagi kalimat yang bisa terucap, hanya deru napas memburu yang sekuat tenaga dikontrol agar dengan seirama. Fiuhh
Namun perjuangan naik turun ratusan anak tangga tersebut kalau boleh dibilang sih sangat worth it ya. Sampai di area Pura, saya melihat sebuah keajaiban dunia kalau boleh dibilang. Pura ini sungguh amat sangat KEREN!! Dengan tebing yang diukir menyerupai candi-candi. Mirip seperti situs Angkor Wat di Kamboja. Masuk ke situs ini bener-bener langsung merasa magis, damai, dan jiwa bisa merasa tenang banget. Nggak tahu juga ya kenapa. You should go there guys, yakin ini 100% saya rekomendasikan banget!
Kemegahan Pura Gunung kawi
Pulang dari Pura Gunung Kawi, saya melewati Pasar Seni Sukawati di Gianyar, dan mampir sebentar buat lihat-lihat aja. Cuma karena sudah sore, jadi toko-toko sudah banyak yang tutup. Saya melanjutkan perjalanan ke arah Denpasar, dan malam harinya saya sempat meet up dengan salah satu sahabat saya yang sekarang bekerja dan menetap di Bali. Saya bertemu di sebuah cafe bernama Gosha Kitchen and Pattiserie, di Jl.Tukad. Lumayan oke juga cafenya, dan menunya juga lumayan enak. Bisa dicoba ya gaess..
Sop Buntut

Day three :

Hari ketiga merupakan hari tergalau saya. Saya pergi ke Sanur pagi-pagi karena berniat untuk menyeberang ke Nusa Lembongan dan Ceningan. Namun karena hari tersebut bertepatan dengan Hari Raya Kuningan, banyak persewaan kapal yang libur/tidak beroperasi. Adapun biayanya lumayan tinggi (400rb untuk 1 orang pulang-pergi naik public boat). Wah.. belum lagi nanti penginapan dan transportasi nanti di Lembongan. Akhirnya saya mengurungkan niat untuk menyeberang, dan akhirnya pagi hari itu saya habiskan untuk leyeh-leyeh saja di Sanur menikmati mentari pagi. Aseeekkk..
Menjelang siang hari, saya berputar-putar mencari persewaan mobil. Dan akhirnya dapat di bandara! Destinasi berikutnya saya memilih yang agak jauh, yaitu Ubud! Horeee… Nah, sampai Ubud sudah siang menjelang sore. Saya berputar-putar untuk mencari Monkey Forest atau Sangeh, you named it guys. Dan dalam perjalanan kesana, saya menemukan sebuah Pura yang lagi-lagi sangat ramai dikunjungi wisatawan. 

Kawasan Pura di Ubud

Akhirnya saya mampir kawasan Pura tersebut dan menempuh daerah Pura itu dengan berjalan kaki saja. Pura disini sangat banyak sekali, tinggal nyebrang jalan, jalan dikit ke kiri, kanan, semua Pura. Keren juga nih. Nama-nama Pura nya diantaranya adalah Ubud Palace, dan Saraswati Temple. Di Ubud ini saya juga melewati Don Antonio Blanco Museum yang isinya semacam galery lukisan, cuma saya nggak mampir.
Peta Monkey Forest Sangeh
Setelah puas melihat-lihat Pura Ubud Palace, akhirnya sampai juga saya ke Monkey Forest. Waktu itu biaya masuknya sekitar 40ribu per orang. Keren tempatnya, banyak pohon-pohon yang rindang dan besar. Ada jembatan diatas sungai, mata air suci, banyak monyet liarnya juga. Overall semacam kerajaan monyet jaman dulu yang berlokasi di hutan. Mirip kaya Mirkwood di film Lord of the Rings. Haha.. Bagi yang suka LOTR sangat disarankan untuk berkunjung kesini, biar bisa foto ala-ala lagi nunggu Legolas gitu deh. Haha! Pulangnya saya lewat Lodtunduh, itu lhooo… lokasi yang sering disebut-sebut di film Perahu Kertas. Akhirnya saya bisa lihat Lodtunduh juga secara langsung. Dan beda sih menurutku sama film (yah namanya juga film, neng!)
Sangeh Monkey Forest
Pulang dari daerah Ubud, saya melewati Goa Gajah (cukup terkenal juga kalau kalian search di Google). Cuma saya nggak mampir karena sudah sangat kesorean. Saya ada satu destinasi tujuan yang paling utama malam ini, yaitu Jimbaran. Haha.. saya mau dinner romantis gitu disana (cieee). Oh ya, yang saya rekomendasiin itu resto seafood Jimbaran yang dideket Four Season Resort ya. Semua masakan seafoodnya itu enak-enak kualitas oke punya!! Menu yang paling aku rekomendasi adalah “udang prawn goreng mentega”. Kalau kesana harus banget pesen menu yang itu. Menteganya itu kerasa banget, meleleh asin-asin gimana gitu waktu dimakan. Ahh~~~ jadi pengen makan lagi deh!
Day four :
Pura Ulundanu, Batur

Hari keempat saya mau jalan-jalan bareng sahabat saya di Bali. Jadi saya sengaja mampir ketempatnya dulu di daerah Mengwi. Setelah itu saya galau mau kemana. Secara dia sudah lama juga di Bali, semua destinasi kebanyakan sudah pernah kan, mainstream buat dia. Nah akhirnya saya memutuskan ke Utara Pulau Bali, bukan ke Pantai Lovina. Lah, terus kemana dong? Ke Desa Trunyan! Beneran ini destinasi anti mainstream nomor satu dalam list! Desa ini terkenal dengan makam adatnya yang tidak mengubur mayat orang yang sudah meninggal, namun hanya meletakkannya diatas permukaan tanah. Desa Trunyan adalah desa yang berada di dekat Danau Batur dan Gunung Batur.
Sebelum sampai di Desa Trunyan, saya mampir ke Pura Ulundanu Batur yang kebetulan memang sejalan. Pura ini terletak diatas danau Batur. Udara disini juga cukup dingin karena dibelakang Pura saya sudah bisa melihat secara langsung penampakan Gunung Batur dan Danau Batur. Wow! Pemandangannya sungguh sangat amazing! Di Pura Ulundanu Batur, tiket masuk per orang adalah 35k, kemudian masih banyar Kamen (20k per orang), dan masih lagi bayar biaya guide yang wajib. Puranya sangat bagus dan sangat sakral. Waktu itu lagi ada upacara, jadi saya menempatkan diri dengan sopan dan menghormati upacara tersebut.
Upacara di Pura Ulundanu, Batur
Perjalanan saya lanjutkan ke Desa Trunyan. Desa ini adalah desa terakhir setelah melewati Desa Panelokan dan beberapa desa lainnya (lupa namanya). Dulu, akses ke Desa Trunyan hanya bisa diakses melalui jalur Danau Batur dengan kapal dari sebuah desa sebelum Desa Trunyan. Namun sekarang sudah dibangun jalur darat sampai ke Desa Trunyan. Cuma yah.. baca blog post ku selanjutnya soal Desa Trunyan dan Makam Desa Trunyan ya :)

Danau Batur

Masyarakat Desa Trunyan

Di Desa Trunyan, akhirnya saya memutuskan untuk menyewa kapal tradisional desa setempat dan menyeberang ke makam Desa Trunyan! Yang bikin tambah creepy, saya tuh nyebrangnya menjelang Maghrib!
Lagi-lagi baca kisah selengkapnya soal cerita ini di blog post selanjutnya ya.. Hehe. Nih, saya kasih sneak peak fotonya.
Pintu Masuk Makam Trunyan

Karena letaknya yang cukup jauh, jadi hari keempat di Bali ini saya habiskan dengan hanya berkunjung di area Kintamani. Kembali ke Denpasar sudah sangat malam, dan saya malah makan malam di KFC (oke ini nggak keren karena cukup mainstream).
Day five :
Hari kelima adalah hari terakhir saya di Bali. Saya masih sempat sarapan di Ayam Penyet Surabaya di Jalan Tuban yang deket banget sama Ngurah Rai Airport. Rasanya hampir mirip sama favoritku di cabang Jogja. Akhirnya saya mampir lagi ke Krisna karena masih punya waktu sekalian mengisi amunisi oleh-oleh. Dan yak, lagi-lagi pesawat saya mengalami delay yang luar biasa. Dari jadwal awal yang seharusnya saya yang pulang duluan daripada partner saya, eh malah jadinya saya yang pulang lebih akhir daripada dia. Ngeselin banget kan ditinggal sendirian di airport. Namun hal yang paling saya takutkan adalah naik pesawat! Mana sendirian lagi. Duh.. padahal dulu saya nggak begini lho.. Cuma sejak ada insiden kecelakaan pesawat tujuan Surabaya-Singapore itu, saya jadi sangat phobia naik pesawat. Jadi kalau lihat awan bergerombol itu bawaannya keringat dingin, pucet, sesak nafas, deg-deg an, kompleks deh, nggak karu-karuan rasanya. Untung syukurlah perjalanan aman dan lancar (walaupun disertai banyak guncangan karena turbulensi) dan saya mendarat di Juanda Surabaya airport dengan aman, selamat, tidak kurang sesuatu apapun Alhamdulillah.. Thanks banget untuk sponsor saya (partner), karena sebenarnya trip jalan-jalan ini adalah hadiah ulang tahun saya dari dia. Saya jadi bisa mengunjungi banyak tempat keren anti mainstream di Bali yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya.
Nah kalau kalian, pengalaman jalan-jalan anti mainstream di Bali kemana aja nih?







Thursday, January 4, 2018

Highlight Film Surat Cinta untuk Starla


*tulisan ini dibuat bukan untuk menjelek-jelekkan pihak-pihak tertentu, bukan untuk mengkritik hasil karya seseorang, saya juga bukan haters aktor tertentu, ini murni hasil pemikiran saya sendiri tanpa ada influence dari orang lain. Mon maap yaa kalau ada yang merasa tersinggung*

Belakangan ini saya mendadak menjadi ABG (sebelumnya apa ya mbak?) hal ini dikarenakan saya mengagumi sosok aktor pendatang baru di dunia perfilman Indonesia. : Jefri Nichol. Berawal dari keisengan nonton Dear Nathan, saya mulai menyukai sosok Jefri Nichol. Dimana selain tampan, actingnya juga not bad. Okeh! Akhirnya saya berambisi nonton semua film-film dia. Salah satunya film Pertaruhan. Disitu saya masih gak kecewa sama actingnya Nichol. Oke lanjut, film-film dia yang lain sayangnya saya masih belum sempet nonton. Dan yang terbaru ya ini, dia memerankan sosok Hema dalam Surat Cinta untuk Starla. Saya sungguh berambisi lihat Nichol sampai bela-belain nonton tuh film di bioskop! Sungguh edan!

Beberapa waktu lalu, saya sempet ketemu tweet nya Ryu Deka (@ryudeka) yang bikin sinopsis film suka-suka dia. Dan dia bikin sinopsis film ‘Surat Cinta untuk Starla’ dalam bentuk tweet. Saya sih untungnya bacanya setelah selesai nonton film, jadinya ya nyambung dan ngerti maksud dia apa dan yang mana, haha! Oh ya, ‘Surat Cinta untuk Starla’ adalah film pertama saya di tahun 2018 *penting ya? Oke setelah baca tweetnya Ryu Deka, hal pertama yang dilakukan tentu saja ngakak! Abis selesai, saya setuju abiss sama sinopsis dan opininya. Tapi kali ini saya hanya akan sedikit membahas first impression saya soal film ini (karena kan udah dibahas Ryu Deka, lebih lengkap dan lebih lucu). Saya hanya ingin menambah beberapa poin dari sudut pandang saya plus mengajak netijen untuk berpikir mana film-film apa yang worth it buat ditonton di bioskop dan mana film yang cocok ditonton dari download an rumah aja. Oh ya, filmnya yang khusus Indonesia aja ya gaess


Highlight film Surat Cinta untuk Starla


Jadi seperti kata Ryu Deka, ‘namanya juga filleemmmm’ *kemudian ditimpuk sutradaranya* jadi saya mencoba legowo dengan jalan cerita film Surat Cinta untuk Starla. Karena jika seandainya tak pikirin bener-bener, saya bisa ngamuk-ngamuk gak jelas. Bukan karena endingnya yang bikin gemayy.. tapi karena jalan cerita dan alur film itu sendiri. Oke, untuk lebih jelasnya, akan saya highlight aja sebagai berikut :
  • Actingnya Nichol oke, tapi acting lawan mainnya gak imbang *saya bukan hatersnya Caitlin Halderman ya gaes. Menurut saya malah masih bagusan actingnya Amanda Rawles *halah malah polling. Acting dia itu kaya cuma kebanyakan nyengir-nyengir gak jelas, manja-manja, ketawa, tapi kaga ada penghayatannya sama sekali *sorry to say.
  • Jalan ceritanya terlalu ringan dan ya, FTV banget. Jadi ya serasa nonton FTV yang ditonton di layar lebar. Selain itu, jalan ceritanya predictable, drama banget, terkesan memaksakan, banyak humor yang tidak pada tempatnya, serta konflik yang juga dipaksakan. Film ini memang cocok ditonton sama anak-anak SMP atau SMA awal-awal gitu lah, gak cocok ditonton cewek mateng kaya saya *tua maksudnya ya mbak? uhuk
  • Ini penting gak penting, tapi ganggu mata banget. Jadi soal selera fashionnya pemain utama perempuan. Ya saya memang gak tahu anak muda heits dan kekinian jaman now itu fashionnya musti kaya gimana. Tapi yang saya tahu tetap ada batasan sopan dan gak sopan. Jadi di pemeran utama perempuan ini kemana-mana selalu pakai baju super minim, bahkan ke rumah tante pacarnya pakai hotpants dong. Alamaakk.. ya saya tahu, menghighlight kakinya biar kelihatan semakin jenjang *pliss.. Semua artis cewek blasteran Indo kakinya juga panjang-panjang semua kaga perlu ditonjolin begitu deh ah. Pokoknya kan ya gak perlu pakai baju sependek itu sepanjang film kelesss *kaya gak punya baju lain aja dek? Gak tahu ya kalau cowok-cowok mungkin pada keranjingan. Tapi kalau penonton perempuan sepanjang film disuguhi kaki dan paha yang hampir kelihatan pant*tnya? Eneg dan ganggu mata banget *heran kok kaya gini malah lulus sensor. Jujur saya jadi gak enjoy sama filmnya, dan kehilangan esensi film karena pemilihan fashion yang tidak diperhatikan kaya gini.
  • Oh ya, soal humor. Nah humor ini *mon maap mungkin ini opini pribadi saya yang jadi terlalu baper. Spoiler. Jadi kebanyakan humor di film ini ditempatkan pada sosok atau scene yang ada bapak polisinya. Di film ini, aparat itu digambarkan secara fisik adalah sosok yang gendut, larinya lelet, gak bisa nangkep orang dengan cepat, terkesan blo’on, mudah ditipu, tidak tegas, dan santai saja sama aturan. Polisi itu gak semuanya seperti yang digambarkan dalam film tersebut. Sekarang mah jamannya polisi muda-muda, cogan, dan pada punya roti sobek semua tauk! Tapi, banyak orang menganggap adegan-adegan yang melibatkan bapak polisi ini lucu, tapi bagi sebagian orang termasuk saya : tidak lucu sama sekali. Jadi ada beberapa adegan yang melibatkan bapak polisi yang membuat seisi bioskop terpingkal-pingkal, namun tidak bagi saya. Saya tidak tertawa apalagi sampai terpingkal, karena bagi saya lucu saja tidak. Humornya sama sekali tidak menggelitik, malah menyinggung. Jadi permisi, lucunya disebelah dimana ya? Sebenarnya humor kan bisa dibuat tanpa mendiskreditkan pihak-pihak tertentu. Kenapa hanya bapak polisi disini yang dibuat seperti badut hanya untuk memaksakan masukin unsur humor di dalam film?

Secara keseluruhan dan kesimpulannya, tidak ada hal lain yang membuat saya bertahan duduk di kursi penonton selain karena Jefri Nichol. Tidak lawan mainnya, tidak jalan ceritanya, tidak apapun juga. Acting Nichol sebenernya bagus, dan dia bisa jadi actor besar nantinya asal gak salah pilih film. Tapi saya gak tahu ya, pengalaman nonton yang gak enak ini hanya kejadian cuma di saya atau orang lain juga mengalami, kurang paham. Tapi waktu saya nonton, bioskop memang penuh sampai 3 row di depan *maklum masih minggu pertama penayangan. Penonton didominasi sama gank ciwi-ciwi ABG yang sebentar-sebentar cekikikan, beberapa sejoli-moli yang selalu milih kursi di pojok-pojok (?) hmmmm, dan surprisingly 5 kursi yang penuh diisi gank cowok-cowok yang berada tepat di row belakang row kursi saya *haha.. Nonton film apa p*ha aktrisnya nih mas?

Film yang cocok di tonton di bioskop yang kaya gimana dong?


Jujur saya ini jarang banget nonton film Indonesia di bioskop. Kalau gak karena pemainnya, ya biasanya karena ceritanya baru saya mau bela-belain nonton di bioskop. Ada beberapa film yang menurut saya layak banget ditonton di bioskop, mereka antara lain adalah :
  • Ada Apa dengan Cinta (cerita dan pemain)
  • Kartini (cerita dan pemain)
  • Critical Eleven (cerita dan pemain)
  • Pengabdi Setan (cerita)


Apa lagi ya? Haha.. kok dikiit banget! Yaampun.. Mon maap. Saya ini memang jarang banget ke bioskop buat nonton film Indonesia *jangan ditiru. Tapi saya gak pernah menyesal, karena terbukti film-film yang telah saya tonton ini memang layak banget buat ditonton di bioskop. Apalagi yang pualing-paling bikin saya baper seminggu abis nonton itu adalah ‘Critical Eleven’. Gak heran karena diangkat dari novel best seller. Tapi bagi saya yang belum baca novelnya, saya amat sangat cukup puas dengan acting para pemainnya yang bikin tahan napas! So intense! Karena acting para pemainnya gak perlu diragukan lagi, cerita dan konfliknya ringan tapi cukup dekat dengan kejadian sehari-hari *itu yang bikin film ini bagus dan terasa nyata banget, setting tempat yang indah-indah itu anggap aja bonus. Banyak sekali pesan hidup, pesan moral, dan hal-hal penting dalam hidup yang terkandung dalam film Critical Eleven. Pokoknya film ini 10 dari 10 dah buat saya. Super duper keren dan menyesal seandainya gak ditonton di bioskop. Untuk pertama kali saya nonton itu gak banyak bicara bisik-bisik/diskusi sama partner nonton. Kami berdua sama-sama fokus sama alur cerita yang disajikan, dari awal sampai akhir. Film ini begitu penuh, kaya gak ada adegan yang bersifat filler sama sekali. Dan begitu keluar bioskop, kami berdua baper selama seminggu penuh *eh saya aja ding yang baper seminggu, cowok mah jaim kalau dibilang baper.




Film kedua yang keren banget dan perlu ditonton adalah Pengabdi Setan. Ini saya gak lihat pemainnya, tapi penasaran sama ceritanya. Dan dibanding ceritanya, sebenarnya pengambilan gambar dan visual lebih unggul dalam film ini. Sepanjang nonton dari awal sampai akhir, Joko Anwar sama sekali gak ngasih kesempatan buat penonton buat atur napas dan leha-leha! Kaga ada santai-santainya nih film, bikin deg-deg an terus! Cocok banget buat ditonton bareng-bareng se-gank di bioskop, jadi teriaknya bisa barengan sebioskop, mantap tuh.

Etika orang nonton di bioskop



Pikiran ini saya share karena pengalaman yang saya dapat setelah nonton film ‘Surat Cinta untuk Starla’. Jadi saya ingat banget waktu itu saya duduk dimana : row 4 dari depan, kursi nomor 3 dari kanan (masih inget juga nontonnya tanggal 2 Januari 2018). Mungkin karena minggu awal penayangan, jadinya ya masih heboh. Seperti yang sayang bilang, penonton kebanyakan didominasi sama ciwi-ciwi sekitar usia SMP-SMAan gitu. Sebagian kecil diisi sama cowok-cowok yang pada nobar, dan 30% couple-couple lucuk unyu-unyu manjah. Salah satunya duduk tepat disebelah kanan saya. Jadi saya kan nomor 3, jadi dua kursi kanan saya diisi sama couple yang so sweet ini. Kenapa so sweet? Karena walaupun lampu bioskop dimatikan, saya masih bisa lihat jelas dengan ekor mata karena row saya kan termasuk depan, jadi masih kesorot sama lampu dari layar, bahwasanya si cewek sebelah saya ini pakai dress super minim *mirip yang dipake Starla kemana-mana. Nah, menurut pantauan ekor mata saya *bukannya saya kepo, tapi kelihatan banget! Bahwasanya si cewek ini nempel manjah gitu ke cowoknya yang berada di sudut. Gak sekali dua kali mereka ketinggalan jalan cerita film karena.. Sibuk cipokan! Masya Alloh.. Anak siapa ini??!! Belum puas cipokan, si cowok berinisiatif melukin ceweknya yang udah nempel kaya abis dipakein lem Alteco ke cowoknya. Jadi pergerakan pelukan tangan cowok ini terpantau oleh ekor mata elang saya yang duduk tepat di sebelahnya. Iri? Kaga!! Jijik dan super eneg iya! Belum lagi si perempuan membalas dengan cara berinisiatif ‘menangkringkan’ kedua kakinya ke kursi depan yang memang kebetulan kosong (row nomor 3). Tau deh pikiran si cowok ini kemaren girangnya kaya gimana, disodorin kaki telanjang yang atasnya cuma dipakein rok gemes tanpa tutup apa-apa kaya gitu. Haduh… sudah sudah astaghfirullah.. Mari kita jangan teruskan pembicaraan ini.


Nonton di bioskop memang berarti harus siap untuk tenggang rasa. Karena kan sudah jelas kita gak nonton sendiri, melainkan berbanyak, gak saling kenal pula. Aturan pertama dan umum yang udah jelas tentu gak ngomong kenceng (kecuali filmnya lucu atau nakutin jadi ketawa atau teriak bareng gpp), gak nyalain hp (bunyi dan cahayanya ganggu banget off course), gak naikin kaki ke kursi depan, gak juga jedug-jedugin kaki ke kursi depannya, dan yang terakhir ini baru saya temui : jangan cipokan di bioskop! Jangan kaya orang susah deh, kencan dan cipokan di bioskop cuma karena penerangannya yang gelap. Apalagi ini bioskop dalam keadaan rame dan penuh. Tentu bisa bikin orang di kursi sebelah jadi gak nyaman ya kan? Bertingkahlah seperti manusia dengan otak yang sudah pernah disekolahkan sebelumnya. Bioskop itu tempat nonton film, bukan buat tempat mesum. Setuju?