Wednesday, April 25, 2018

Pertengkaran Sebelum Pernikahan, Fakta atau Mitos?


Hi bride to be!

Kali ini Saya akan share apakah mitos menjadi Bridezilla sebelum pernikahan itu beneran nyata dan benar adanya, atau kah tidak. Well yah, ulasan ini berdasarkan pengalaman pribadi Saya sendiri sih. Jadi ini murni opini Saya, Saya tidak tahu menahu apa yang terjadi pada pasangan calon pengantin lainnya.


Mitos Bridezilla
Jadi apa sebenarnya Bridezilla ini? Banyak calon pengantin khususnya perempuan yang mengalami hal ini (yaiyalah. Kalau cowok mah namanya groomzilla! haha) Nah, Saya nggak tahu juga sih kalau dari sisi cowok, belum interview suami Saya *ciee. Tapi yang jelas kalau dari sisi perempuan, ya, Saya mengalaminya. Like.. a lot, haha.. Banyak banget moment-moment ketika Saya mengalami menjadi seorang Bridezilla. Bridezilla adalah suatu istilah yang merujuk pada keadaan dimana bride to be merasa marah atau sebal atas suatu kejadian khususnya dalam hal mengurus atau mempersiapkan pernikahan yang membuatnya mengamuk atau uring-uringan nggak jelas. Ya ini definisi menurut pendapat pribadi Saya sendiri. Untuk definisi lebih lengkap dan lebih jelasnya, bisa cek wikipedia ya girls. Intinya sih Saya merasa tidak mudah puas, terutama dalam hal mempersiapkan segala macam bentuk persiapan pernikahan ini. Saya menjadi lebih perfeksionis dan mudah kecewa dengan sesuatu jika tidak sesuai dengan apa yang Saya inginkan. Oke supaya lebih jelas, Saya akan mencoba menjelaskan wedding dream yang Saya inginkan terlebih dahulu, dan kemudian kenapa Saya bisa uring-uringan.

Ekspektasi VS Realita

Sebagai seorang perempuan yang belum pernah menikah, pasti punya wedding dream masing-masing kan. Nah iya, sama, Saya juga. Kebetulan hal pertama yang ingin Saya lakukan pada pernikahan itu nggak bisa dilaksanakan sesuai dengan yang Saya rencanakan. Jadi pada awalnya, Saya ingin seluruh prosesi menikah dilakukan selama satu hari, dari pagi sampai sore atau malam nggak masalah. Cuma ya satu hari saja, dan di satu tempat. Namun karena beberapa hal, akhirnya keinginan Saya ini nggak bisa terwujud, dan harus dipisah baik hari akad dan resepsi, serta tempatnya. Dari sana saja sebenarnya Saya sudah sedikit kecewa. Berkali-kali pertanyaan ‘ini yang nikah siapa, yang ribet siapa, yang ngatur-ngatur siapa’ itu terus sliwar-sliwer di kepala Saya yang luar biasa bandel ini *hih, jitak.

Intinya setelah berperang dengan batin dan diri Saya sendiri yang perfeksionis, apalagi ini masalah pernikahan sekali seumur hidup, oke Saya mengalah terhadap keadaan. Dengan lapang dada Saya menerima keputusan akhir bahwa pernikahan Saya nantinya akan diselenggarakan terpisah tanggal akad dan resepsinya, dan begitu pula dengan tempat perhelatannya *halah. Oh ya, perlu Saya jelaskan, waktu itu banyak pihak yang turut membantu terlaksananya proses pernikahan Saya, selain Pak Penghulu dan para vendor tentunya. Yup, tak lain dan tak bukan, keluarga Saya yang memiliki andil paling besar dalam membantu Saya mempersiapkan pernikahan. Well, kami bagi-bagi tugas sih lebih tepatnya. Jadi pekerjaan rasanya lebih ringan dan sudah ada PIC-nya masing-masing gitu lho. Ibu dan Ayah Saya yang mengurus acara dirumah, yaitu acara akad, sedangkan Saya dan kakak Saya lebih banyak memusatkan pikiran pada mengurus acara resepsi. Saya dan pasangan juga diberi tanggung jawab untuk menentukan lokasi serta tanggal resepsi. Sebuah keputusan yang tidak mudah juga karena menyangkut keluarga kedua belah pihak, menyangkut kerjaan dan cuti kedua kantor / perusahaan tempat kami bekerja, serta menyangkut banyak faktor lainnya.

Mungkin sedikit banyak itulah penyebab-penyebab Saya menjadi seorang Bridezilla-jelang pernikahan. Karena tentunya percekcokan dan beda pendapat dengan berbagai pihak itu tidak bisa dihindari mengingat banyaknya hal yang perlu dipersiapkan. Untungnya keluarga dan pasangan Saya cukup sabar-sabar dalam menghadapi Saya, ketika Saya sedang menjelma menjadi seorang Bridezilla. Hahhaa.. Oh ya, macam-macam lho sikap dan reaksi Bridezilla itu, kalau Saya sih selain uring-uringan, tentu disertai dengan tangisan drama. Wahahaha~ sungguh amat sangat memalukan kalau diingat-ingat lagi.

Faktor Penyebab Bridezilla

Jadi, apa saja sih faktor yang menyebabkan Saya menjadi seorang Bridezilla? Seperti dirilis dari laman dispatch melalui pengamatan yang sungguh teliti, ternyata ada beberapa garis besar alasan. Dan berikut adalah beberapa alasannya :

  • Susahnya mencari banyak vendor yang bagus dan sesuai dengan budget disaat waktu yang amat sangat mepetKalau diingat-ingat lagi, dua acara besar dalam waktu dua bulan bisa membuat siapa saja menjadi gila, eh nggak ya maksudnya sedikit hilang akal dan efek samping lain yaitu pikiran kosong. Eh tapi itu benar lho, waktu mempersiapkan acara ini, sering Saya jadi cuma bengong aja saking bingungnya karena harus mikirin banyak hal. Selain itu tanggung jawab kerjaan kantor juga nggak boleh sampai keteteran kan, itulah sebabnya Saya jadi gampang banget bad mood kalau ditanyai orang-orang soal persiapan nikah. Banyak expert yang ngasih saran ini-itu, tapi ntar endingnya kan Saya yang make decision, Saya yang keluar duit, dan  Saya yang nikah juga. Jadi kadang Saya mikir kenapa juga mereka yang memaksakan pendapat, ngeyel dan repot. Hal simple kaya gitu kadang udah sukses bikin Saya uring-uringan seharian.

    B
    alik ke poin utama, susah lho nyari vendor yang benar-benar tepat dan sesuai dengan yang kita inginkan. Mana bukan cuma satu vendor lagi. Belum lagi membandingkan vendor A, B, C, dan lain sebagainya. Tentunya yang sesuai budget dan hasilnya, yah not so bad lah. Belum lagi nyocokin sama jadwal mereka, soalnya kadang kan salon dan MUA jadwalnya pada padat-padat, mana udah mau masuk bulan puasa biasanya banyak pasangan yang mau nikah. Tapi untunglah masalah vendor untuk acara akad dirumah bisa dihandle dengan baik dan more less drama. Mungkin cuma kurang printilan kecil-kecil namun nggak bisa disepelekan. Misal : beli balon dan merpati buat diterbangin, nyetak foto buat dipajang didepan rumah, dan detail-detail lainnya *ah elah, sepele banget sist! haha
  • Sering emosi gak bisa dihindari
    Saran itu penting, tapi terkadang kebanyakan saran juga bisa bikin pusing dan marah-marah lho. Haha.. belum pernah melakukan bukan berarti nggak punya pengetahuan sama sekali kan? *ciee. Nah pernikahan tuh sama. Banyak orang kasih saran ini-itu, menganggap itu adalah saran yang terbaik. Tapi kita sebagai pihak yang mau nikah tentu punya pertimbangan dan penilaian sendiri kan dalam mengambil keputusan? Bukan berarti belum pernah itu sama sekali nggak punya dasar pengetahuan apa-apa. Saya juga udah sering kok baca-baca blog soal wedding, persiapannya butuh apa aja. Dan bahkan Saya juga install beberapa aplikasi di handphone untuk mempersiapkan pernikahan. Jadi setidaknya Saya juga ada sedikit bayangan lah ya, mau dibawa kemana konsep acara nikahnya nanti. Tapi terkadang ada beberapa orang yang semacam ‘nggak terima’ kalau idenya nggak dipakai, jadi ya sedikit memaksakan juga. Kadang Saya kalau udah jengkel dibegituin, pingin banget ngomong ‘yaudah nikah aja sendiri, pakai konsep yang kamu bilang tadi. Mon maap permisi, ini nikahan Saya bukan situ’. Cuma karena adat ketimuran yang mengedepankan sopan santun, baiklah kalimat tersebut hanya Saya ucapkan lantang didalam hati saja. haha


Kapan Menjadi Bridezilla?
Oke pertanyaan berikutnya, sebenarnya kapan sih tepatnya menjadi seorang Bridezilla? Well kalau dalam pengalaman yang Saya alami sih kira-kira di awal-awal merencanakan acara nikah ini ya. Jadi ya setelah ‘ketok palu’, ada masa tenang satu sampai dua hari, baru kemudian muncullah berbagai macam pembicaraan kompleks lengkap dengan permasalahannya. Haha

Kalau Saya memang ‘waktu tenangnya’ nggak bisa lama-lama ya girls, soalnya kan cuma dua bulan lagi menuju hari H. Jadi ya nggak bisa santai-santai banget juga. Dan, untungnya juga, resepsi akan dilaksanakan 1 bulan setelah akad. Jadi ada tambahan waktu buat mikir lagi sih soal acara resepsi ini (mengurangi kebotakan kepala).

Biasanya kalau sudah mendekati hari H, yang ada cuma mempersiapkan diri, dan banyak-banyak berdoa supaya lancar. Sudah less drama karena kebanyakan semua sudah settle dan beres, cuma tinggal pelaksanaannya. Jadi mendekati hari H pernikahan, sudah nggak begitu banyak terjadi fenomena Bridezilla dalam diri Saya.

Cara Mengatasi Moment Saat Menjadi Bridezilla

Nah, sahabat blogger yang baik dan budiman, nggak lengkap rasanya kan kalau Saya ngoceh panjang lebar tapi nggak bagi-bagi tips soal mengantisipasi atau menghindari jadi Bridezilla ini. Eh tapi sebagai catatan, penting untuk diketahui bahwa nggak semua pasangan calon pengantin yang mengalami Bridezilla ya. Bahkan malah ada yang adem ayem aja, nggak ada cekcok, dan ada juga malah yang mengalami Bridezilla pada saat hari H. Kalau yang ini Saya mengalami juga sih, tapi sedikit. Nanti Saya ceritain selengkapnya di blog post lainnya ya.

Nah, jadi, apa aja nih caranya supaya menjadi Bridezilla ini bisa dihindari? Ini adalah beberapa tips dari Saya ya, girls!
  • Dukungan keluarga yang menguatkan
    Jadi kalau Saya, peran keluarga itu berarti banget. Walaupun pada kenyataannya, mereka yang paling sering jadi sasaran amukan Saya. Hehe. Jadi ngamuknya itu nanti sifatnya cuma sementara aja kok, ntar kalau udah reda, kita pasti akan balik lagi ke mereka buat ngomong baik-baik. Karena, siapa lagi sih yang kita punya selain keluarga yang dengan tulus tanpa pamrih ngebantuin kita? Pokoknya, semarah apapun kita, ingat jangan sampai ada adegan drama kabur dari rumah, dll. Selain kekanak-kanakan, itu juga nggak akan menyelesaikan masalah, malah nambah masalah. Keluarga adalah tempat kita selalu kembali seberapa jauh pun kita melangkah *wagelaseeehhh
  • Banyak-banyak sabar
    Kalau lagi banyak pikiran, selalu ingat untuk sabarin aja dulu, diredam emosinya. Kalau sudah nggak panas, baru ngomong. Jangan membalas omongan orang pada saat kita masih emosi. Ntar malah jadi rumit masalahnya dan nggak ketemu-ketemu jalan keluarnya
  • Rajin berdoa dan meditasi / menenangkan diri
    Nah ini sepele tapi penting banget. Berdoa itu memberikan ketenangan batin yang nggak bisa kita cari kemanapun. Jadi emang cuma Tuhan yang mampu memberikan rasa yakin, rasa lapang dada, rasa ikhlas, dan lain-lainnya. Jadi kita akan terlahir menjadi pribadi yang lebih sabar dan dewasa
  • Hibur diri dengan hobi yang disukai
    Kalau sudah mencapai batas, coba deh lupain barang sebentar masalah yang sedang kamu pikirin. Kalau Saya, biasanya Saya ‘letakkan’ dulu semua tanggung jawab yang mesti dipikirkan, kemudian Saya mencari pelarian barang sebentar. Misalnya nonton film / drama, makan enak, jalan-jalan ke mall sama teman-teman, tidur sepuasnya, atau traveling. Pilih aja yang kamu sukai ya girls, yakin deh ntar balik-balik pikirannya jadi lebih fresh
  • Jangan menyerah
    Nah poin penting terakhir adalah : jangan menyerah. Apapun keadaannya. Ini adalah hal sepele tapi justru sangat penting banget! Ingatlah ini hanyalah moment sementara sebelum moment sebenarnya, yaitu fase pernikahan. Ingat ini cuma proses transisi aja, jadi wajar kalau kita merasa bingung dan hilang kendali. Semuanya masih bisa dimaklumi. Pokoknya kalau sudah diambang batas, ingat balik lagi ke magic word : jangan menyerah. Yakin abis badai pasti ada pelangi. Abis minum jamu pahit, pasti ada beras kencur yang jadi pemanis *halah. Intinya jangan pernah menyerah ya girls, apalagi menyerah sama calon pasangan. Oh big no no! Keep fighting dan yakin aja, girls!

Nah, itu adalah kesan pesan dan review ku soal menjadi Bridezilla. Panjang ya? Haha. Ini lama-lama artikel ini Saya kirim juga deh ke Bride Story. Hmm.. well ya kalau kalian pernah mengalami menjadi Bridezilla waktu mau nikah, boleh nih dishare juga. Atau bride to be yang mau nikah, jangan takut ya. Nggak semua mengalami jadi Bridezilla dan tentu kasus tiap orang beda-beda. Jadi nggak usah ragu melangkah ke jenjang berikutnya. Good luck girls!








Tuesday, April 10, 2018

Cerita Lamaran



Tidak sedikit yang  menganggap lamaran adalah prosesi “one step closer”. Yaaa emang bener juga sih.. tapi bagi saya ada makna lainnya. Makna lain lamaran bagi saya adalah “you can’t going back”


Bisa dibilang ‘magic word’ itu semacam ketok palu gitu deh. Jadi kalau menurut Ale-Anya (film : Critical Eleven), mereka berdua ini berjalan nglewatin jembatan, terus kemudian jembatannya kebakaran, sehingga mereka udah nggak bisa balik lagi ke ujung jembatan sebelum mereka nyebrang, melainkan harus terus maju ke ujung jembatan satunya, berdua. Aih, romantis banget dah! 😍 Nah, sama. Filosofi dari Ale-Anya ini sama persis dengan bayangan saya soal lamaran, yaitu saya udah nggak bisa ‘kembali lagi’ begitu prosesi ini dilakukan.


Tentu keraguan dan kegalauan sebelum nikah pasti dialami oleh kebanyakan orang, maupun pasangan yang akan melangkah ke jenjang berikutnya, yaitu pernikahan. Rasa ragu, nggak yakin, takut, deg-degan, dan lain sebagainya selalu berkecamuk dan menyeruak (halah) ke dalam batin masing-masing calon pengantin. Betul ndak? Nah, sama, saya juga sempat mengalami peperangan batin semacam itu, sedemikian rupa. Berapa lama waktu pacaran atau mengenal pasangan hanya sedikit membantu soal keyakinan dan keputusan untuk melepas masa lajang ini. Sadar bahwa (ini dari sudut pandang perempuan ya) nantinya setelah menikah, semuanya akan jadi jauh, jauh berbeda. Saya sebagai perempuan harus memberikan bakti saya kepada suami saya kelak secara mutlak 100% 😥 *terharu. Bagaimana menjadi sosok istri yang baik untuk suami, nurut sama suami, selalu mendukung suami, mampu menangani seluruh urusan rumah tangga termasuk mengatur keuangan, nabung, masak, nyapu, ngepel, setrika, dan seabrek ‘tugas’ rumah tangga lainnya. Aigoo! 🤯 Kok malah berasa jadi ART gini yak? 😓 Tapi bener, suatu ketika teman saya yang udah nikah, pernah mewejangi saya dengan celetukannya, ‘nikah itu ngerubah kita, dari ratu jadi babu’. Nah, nggak ngeri gimana mau ngelepas masa lajang yang bebas bak ratu, bebas merdeka, dan menyenangkan ini?? Apa saya sudah siap terkungkung dengan ‘job desk’ sebagai seorang istri beserta seabrek tugas dan kewajibannya tersebut?? 😨 Mari kita cari tahu jawabannya bersama-sama.


Rencana Lamaran

Seperti yang sudah saya jelaskan di artikel sebelumnya soal foto prewedding, saya jujur memang belum tahu menahu kapan tepatnya acara lamaran akan diselenggarakan. Dan sesuai dengan tradisi adat Timur, nggak ada tuh acara surprise-surprise an dari pihak cowok, kaya bule-bule sono yang melibatkan ‘down on one knee to propose’ sembari mengacungkan cincin bertahtakan berlian sambil bilang “will you marry me?” 💍 *halah! Justru di Indonesia, yah secara adat Jawa atau kedaerahan aja sih (masing-masing daerah adatnya beda-beda ya) nggak ada acara macam bule begitu. Kalau ditempat saya, justru wacana untuk acara lamaran itu akan dibahas matang-matang, berhari-hari sebelumnya. Ya soalnya melibatkan kedua belah pihak keluarga, dekorasi, catering, dan lain sebagainya. Baiklah.


Nah, sama. Saya juga gitu sama calon pasangan saya. Memang wacana untuk mau lamaran di Bulan Februari itu sudah diajukan paduka yang mulia (*panggilan sayang saya ke doi) jauh-jauh hari. Kenapa kok Februari? Soalnya di bulan itu doi baru bisa ngajuin cuti lumayan lama, karena kantornya nggak ngebolehin karyawannya untuk sembarangan cuti, apalagi dadakan. Jadilah Februari dijadikan opsi pertama untuk lamaran. Nah, alasan kedua, katanya sih itung-itung kado dari doi. Kan Februari saya ulang tahun nih ceritanya. Cie cie. 💑 Ya begitulah. Pembicaraan terus bergulir manjah setelah masa tenang after foto prewed. Mau nggak mau saya mulai nyari-nyari vendor (lagi) buat lamaran. Kali ini vendor buat dekorasi aja sih. Sengaja nyari yang sekitar daerah rumah aja biar nggak ribet ntar koordinasinya. Memang untuk lamaran ini saya maunya yang sederhana aja. Kalau bisa ya nggak ngundang siapa-siapa juga, ya cukup keluarga aja. Tapi keluarga saya bersikeras mau ngundang beberapa tetangga, katanya sih buat saksi. Ya okelah saya ngikut saja.


Tahap Persiapan
Buat lamaran ini, saya nggak pakai MUA lho! Wow, berani amat buk? Haha.. Ya iyasih, selain hemat budget, kembali lagi ke alasan saya sebelumnya. Pengen lebih sederhana aja, nggak heboh-heboh amat, cuma ya memorable. Jadi sebulan sebelumnya saya rajin liatin makeup tutorial di YouTube, terus belajar, beli-beli makeup, beli printilan kuas satu set, beli aksesoris, dan keperluan makeup lainnya. Bahkan untuk acara lamaran ini saya juga nggak sewa jasa photographer buat acara lamaran. Cuma berbekal kamera pribadi, dengan kakak saya sebagai fotografernya. Hahaha. Tapi buat baju lamarannya saya cukup nyiapin sih, tapi simple kok. Cuma beli kain kebaya, trus jahitin deh ke penjahit. Kalau jarik bawah kembaran sama kemejanya calon pasangan. Ya umumlah ya yang begituan. Dulu sempat mau sok-sok an bikin DIY paper flower (pas itu lagi hits, sist). Tapi waktu ngitung habisnya belanja bahan-bahan plus keribetan bikin paper flower sendiri, kok nggak worth it ya? Yaudah lah bayar dekorasi bunga-bunga sederhana aja, lebih simple dan nggak bikin capek / makan waktu banyak. Kalau soal catering, ibu saya bersikeras mau masak sendiri, nggak pakai catering. Soalnya kan nggak banyak juga tamunya, cuma keluarga dan beberapa tetangga.


Bulan Februari!

Akhirnya tiba di Bulan Februari, semakin deg-deg an rasanya. Kemudian memastikan tanggal kunjungan, ngecek apa aja keperluan yang kurang. Dan ketika semua sudah lengkap, yang saya lakukan hanyalah mempersiapkan diri. Banyak-banyak berdoa dan relaksasi. Yah, memantapkan diri itu perlu lho ya, apalagi buat cewek. Bukan soal yakin sama pasangannya (ya ini penting juga sih), tapi kalau saya lebih ke yakin memantapkan diri maju ke tahapan jenjang yang berikutnya. Oh ya, saya juga menyempatkan diri untuk facial, ya walaupun nggak pakai MUA, biar setidaknya wajah dasarnya itu udah ‘mendingan’ gitu lho. Persiapan lain, ya ngerjain deadline tugas kantor, buat sebelum dan sesudah cuti lamaran (biar gak kepikiran kerjaan, rek! penting).


Hari H


17 Februari merupakan hari yang bersejarah bagi saya dan pasangan. Hari itu saya sudah bangun pagi-pagi, bantu keluarga menyiapkan hal-hal untuk menyambut keluarga pasangan. Pada hari H itu sih perasaan saya juga sudah lebih siap ya, lebih pasrah kalau secara Jawanya lebih legowo gitu lho guys. Jadi kaya yin dan yang dalam batin saya seperti udah menyatu aja gitu, jadi secara lahir batin saya sudah siap. Perkiraan siang hari lah, rombongan akan sampai ke rumah. Namun yang agak lucu adalah ketika saya me-whatsapp ‘sudah sampai mana?’ dan dijawab sudah di daerah A (dimana daerah itu udah deket sama rumah saya). Lantas seluruh keluarga saya kalang kabut! Gimana nggak, pada belum mandi semua! Wakakaka!! 😆 Memang dasar.. Terlalu riweuh menyiapkan ini-itu sampai mandi jadi prioritas kesekian. Nah kalau udah deket gini baru deh kalang kabut. Wahaha. Tetangga-tetangga yang ikut bantu-bantu di rumah juga langsung pada cabut kerumah masing-masing, ngapain? Ya buat mandi juga sama siap-siap! Wahaha!! 😆 Lucu banget deh kalau diingat-ingat. Parahnya, saya jadi nggak bisa berlama-lama dandan. Ya harusnya saya menargetkan dandan 2 jam, tapi realisasinya saya cuma dandan 30 menit aja. Itupun dibantu kakak saya yang mengerjakan hairdo based on YouTube! Wakaka! 😆 Segala deg-deg an saya hilang sudah, digantikan dengan deg-degan ‘gimana ini kalau udah dateng trus saya belum siap?’




Puncak kegugupan adalah pada saat rombongan pasangan saya datang, dan saya belum selesai pakai kutek kuku! OMG.. mana kan harus kering tuh, soalnya saya kan musti salaman. Sayu-sayup saya dengar dari kamar kalau acara sudah resmi ‘dibuka’, wuaduhh.. Mana ini kutek saya belum kering! 😰 Bahkan saya belum ke ruang tamu untuk menampakkan diri. Endingnya adalah saya tiba-tiba ‘menyusup’ kedalam ruang tamu, jadi tidak ada perkenalan, jalan diapit ibu ke ruang lamaran, dll. Saya jalan seorang diri saja kemudian langsung duduk dan mendengarkan pembicaraan para tetua. Haha.. acara masuk ruangan yang failed abis! 😅


Jadi secara garis besar, saya memang nggak banyak ngomong. Karena sesuai adat Jawa, yang ngomong sebagian besar adalah para orang tua, untuk menjelaskan maksud kedatangan, dan dalam hal acara saya ini adalah menentukan tanggal pernikahan. Seingat saya, saya cuma mendaraskan satu kalimat saja sepanjang acara lamaran, “nggih kulo tampi” yang mana artinya kurang lebih “ya, saya terima”. Pembicaraan sebagian besar dilakukan dengan Bahasa Jawa Halus, yang notabene saya cuma ngerti sedikit. Akhirnya saya cuma sering manggut-manggut senyum tanpa tahu artinya apaan! Hahahaa.. 😆 Ya cuma ada beberapa part yang saya ngerti. Karena pembicaraan menyangkut hitung-hitungan kalender Jawa dan berdasarkan primbon Jawa, nah nggak roaming gimana tuh? Intinya saya memang menyerahkan ke pihak orang tua.





Akhirnya disepakati tanggal pernikahan adalah tanggal 10 Mei 2018. Kalau nggak salah, itu 4 hari sebelum Bulan Ramadhan datang. Yup, sebelum puasa. Penetapan tanggal tersebut sudah melewati berbagai proses perhitungan yang rumit dan tentunya saya nggak ngerti. Katanya sih paling bagus kalau nikahnya Bulan Februari, cuma kan nggak mungkin kan bulan ini lamaran, mau langsung sekalian nikah. Menurut ngana?


“Oke semua setuju ya 10 Mei?” waktu itu saya cuma pringas-pringis aja. Yang ada dipikiran cuma, ‘ciee ntar lagi nikah, cie cie’. Eh tunggu bentar, ntar lagi?? Mei? Oh wait, ini kan Februari, berarti less than 3 month again?? What??!! 😱 Kesadaran itu seperti menampar batin saya secara telak! Gimana nggak mikir coba, kalau harus menyiapkan acara nikah cuma 2 bulan aja???! Saya curi-curi pandang ke pasangan saya dan dengan panik tanpa suara meneriakkan kata ‘2 bulan lagi??!’ dan dia menimpalinya dengan anggukan dan tawa pasrah. Hahaha 😆


Setelah acara inti yaitu hitung-hitungan tanggal ini selesai. Kami semua lega, dan acara lamaran masuk ke acara santai, yaitu makan siang. Kalau saya sih melanjutkan dengan acara foto-foto (masih syock, belum nafsu makan). 😅 Oh ya, di lamaran saya ini nggak pakai cincin tunangan ya. Tapi saya dihadiahi kalung dari calon ibu mertua. Ihir! 



Jadi sebenernya nggak harus juga sih cincin ini, bukan adat juga kalau di daerah saya. Saya juga nggak mau cincin, karena ntar kalau udah nikah, cincinnya jadi double-double. Selain budget membengkak, value nya juga kurang aja bagi saya. Yang terpenting dari acara lamaran kalau bagi saya adalah perkenalan dan pembicaraan kedua keluarga ini.



Yak setelah acara foto-foto dan makan-makan selesai, acara dilanjutkan ngobrol santai. Dan sore hari, calon keluarga baru saya pamit pulang. Rasanya lega sih, sudah melewati proses lamaran dimana saya sudah tidak bisa lagi going back, dan noleh-noleh kebelakang, apalagi menyesali kemantapan untuk maju kedepan. Yang perlu disiapkan sekarang adalah mental untuk menjadi seorang istri. Jujur, berat banget bagi saya soal peralihan status ini. Mengingat saya ini hobi berat tidur, suka bangun siang, males-malesan nyuci baju, dan hal-hal lain yang suka dilakuin sama perempuan lajang. 😆 Tapi kalau ditanya pengen nikah? Ya udah pengen banget lah. Mana target nikah saya dulu sebenernya umur 25. Haha.😅 Trus pacaran juga udah lama banget. Udah yakin banget lah kalau ngomongin soal pasangan, udah sama-sama saling tahu sifat baik dan jelek, dan udah saling menerima kebaikan dan keburukan masing-masing. Intinya lega aja sih udah nglewatin satu lagi proses dalam hidup bernama lamaran. Sekarang tinggal nyiapin diri dan batin buat menyambut hari yang super special berikutnya : Hari Pernikahan! 😍😍