Wednesday, December 13, 2017

Menyingkap Tabir Pertanyaan : "Kapan Nikah?"


"eh, apa kabar? udah nikah belum?" atau pertanyaan "kapan nikah?" yang menjamur waktu lebaran karena ditanyain sama sodara-sodara se-RT. "Masih nunggu apa lagi sih, kok gak nikah-nikah?" dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya.
Hmm.. orang yang kesadarannya kurang peka itu emang kadang pertanyaannnya memang kaya gini : alih-alih mendoakan keberhasilan dan kesehatan orang lain, pertanyaan basa-basinya malah "kapan nikah". Halooo.. menikah itu bukan perkara 'ketuaan', 'sudah wayahe', maupun karena desakan orang tua dan pertanyaan para tetangga rumah yang membombardir tanpa jeda. Tapi yah, namanya aja hidup di Jawa, ya harus ikut gimana cara Jowone ya to?  Orang Jowo kan gitu, suka kepo, suka ngurusin hidup orang lain, julid (istilah jaman now), apalagi ya pokoknya sepertinya hidup orang lain itu lebih menarik untuk disimak dan dikupas secara tajam-setajam pacul, daripada ngurusin hidupnya sendiri yang belum tentu bener itu. Nah!
Hal yang ingin saya tekankan disini adalah : menikah itu bukan hanya perkara menemukan 'The Chosen One' sebagai pendamping seumur hidup. Pernikahan itu sesuatu yang amat sangat kompleks jika kita jeli untuk membedah dan mengoprek-opreknya dengan saksama. Pernikahan bisa menyangkut soal sisi psikologis, ketetapan hati, kesiapan mental, finansial, komunikasi dan hubungan dengan orang lain (hub antar keluarga / mertua misalnya), serta visi misi kedepan membangun rumah tangga semua perlu penyesuaian, persiapan, dan nggak bisa "oke deh, bulan depan saya mau nikah karena tetangga udah pada nanyain" *yakaliii
Ya memang penjelasan saya bisa dibilang "halah, terlalu muleg, dibikin rumit, dan ribet. nikah ya nikah aja nanti juga bisa jalan sendiri"-bagi orang-orang tertentu. Tapi jika dihadapkan dengan pernikahan dini yang sebulan-dua bulan kemudian sudah hamil, tahun kedua pernikahan sudah punya anak sedangkan suami kerjaan juga belum tetap, istrinya nggak kerja dan cuma bergantung dengan satu pintu penghasilan saja, rumah masih nebeng ortu/mertua, bagi saya itu masih jauh lebih horror daripada dicap 'belum nikah-nikah juga'. Ya, saya memang lebih memilih diberi label 'kapan nikah' daripada (menurut saya) hidup terlunta-lunta (tapi penuh cinta) seperti itu. Sorry to say. *maaf tidak bermaksud menyinggung pihak-pihak tertentu



Saya ini orangnya realistis, bukannya materialistis juga. Suami kerja adalah suatu kewajiban. Tapi prinsip saya adalah sebisa mungkin istri juga harus kerja. Entah mau pegawai kantoran, entrepreneur, bisnis online, terserah yang penting juga punya penghasilan sendiri. Sehingga suatu ketika tidak akan muncul istilah 'parasit' *monmaap
Ya sebenarnya istri itu bukanlah seorang parasit. Di kitab suci agama juga tertulis kalau kewajiban suami adalah menafkahi istrinya. Tapi bagi saya, istri yang harus bekerja itu bukan cuma karena istilah parasit tadi, tapi lebih ke mengasah skill, otak, dan kemampuan dalam berbagai hal di era yang semakin edan berkembang ini. Tentu saya nggak pengen otak saya jadi tumpul karena tiap harinya cuma mikirin cucian sama gosipnya lambe turah *monmaap (II). Belum lagi kalau penghasilan dari dua pintu tentu pasti akan lebih aduhai jika dibandingkan dengan penghasilan dari satu pintu aja yakan? Yah kecuali kalau suamik saya itu CEO & owner perusahaan tambang ya tentu saya lebih milih ongkang-ongkang aja dirumah sambil sesekali belanja ke mall atau ke salon perawatan ya to *ngimpiii
Nah, tapi kebetulan calon suami saya ini kerjanya di bank, jadi ya dia pinter banget lah kalau disuruh ngitung-ngitung masalah uang, cicilan, pinjaman, management keuangan, manage customer, dan beban-beban leadership lainnya (cocok jadi suamik. ihir). Nah, sedangkan saya ini orangnya lebih fleksibel sama kemajuan zaman. Netijen jaman now kan tentu gak sama kaya netijen jaman old, jadi ya kerjaan saya menyesuaikan aja. Kalau sekarang era itu lebih hits ke dunia digital, yaudah saya ikutin aja. Kalau gak bisa gimana? Ya belajar. Ya inilah fungsinya otak yekan? Jangan pernah berhenti dibuat belajar. Kalau ketemu hal sulit, jangan nyerah, tapi cari tahu, pelajari, pasti bisa kok. Dan akhirnya saya berlabuh ke dunia digital marketing yang fana dan berubah-ubah ini *ckck. Tapi kadang ini lucu, jadi kalau misalnya cowok saya mau share soal perbankan, endingnya pasti saya cuma "ohh.... oh ya?.. kok bisa?.. wah kok  gitu sih?" - sebatas formalitas. Ya karena saya nggak ngerti dunia perbankan. Sama, cowok saya juga kadang roaming banget deh kalau misalnya saya coba bicara soal SEO, atau sambat soal kerjaan yang menyangkut istilah-istilah komputer dan teknologi lainnya. Seringnya dia cuma diam dan mendengarkan - tanpa berkomentar apa-apa. Wakakaka! (memang kami berdua ini nggak pernah nyambung kalau ngomong). Jadilah kami nggak pernah bahas soal kerjaan kalau lagi berdua. Trus bahasnya apaan dong?
Eh tunggu, ini tadi mau bahas apaan? Soal nikah kan?



Disini saya mau menjelaskan atau klarifikasi soal kasus saya sendiri. Kenapa sampai sekarang saya belum nikah-nikah juga. Bahwasanya saya dan pasangan memang sudah sama-sama bekerja dan berpenghasilan sendiri-sendiri, hmm.. sejak tahun 2013 akhir kalau nggak salah. Tentu di awal-awal kerja kami nggak berani dong langsung nikah. Kami perlu settle dulu semuanya, ngatur hidup masing-masing aja susah, boro-boro mikir hidup orang lain yakan. Happy dapat gaji dan penghasilan sendiri, saya memanfaatkan untuk : jalan-jalan! Eh.. keterusan sampai sekarang. haha! Jujur jalan-jalan itu addicted banget *nggak baik, jangan ditiru. Jadi kalau ditanya uang kerja beberapa tahun itu kemana? Jawabnya nggak tahu kemana karena saya selalu pakai untuk memuaskan batin saya yang fana ini *penting untuk pikiran yang lebih sehat.
Nah, cowok saya ini kebetulan juga demen banget jalan-jalan. Pernah saya baru pulang dari Singapura, lusanya sudah harus terbang lagi ke Lombok karena cowok saya terlanjur cuti jalan-jalan. Yasudahlah ya mau bagaimana lagi (badan luar biasa capek tapi seneng kok!) Kebetulan waktu itu tempat kerja saya enak dan mudah banget kalau masalah cuti, jadilah gaspol aja tanpa rem jalan-jalannya *duuhh bahaya bener ni
Kembali ke pertanyaan "kenapa kok nggak nikah-nikah?" Problem pertama hadir waktu saya sudah kerja di Jogja. Namun cowok saya harus training di Jakarta selama 6 bulan. No big deal lah ya, Jakarta-Jogja doang. Tapi itu adalah LDR pertama kami. Biasanya kami ini tidak terpisahkan. Makan bareng, jalan-jalan bareng, kemana-mana bareng, sampai hal remeh kaya service atau cuci motor ya kudu banget dianterin. Udah kaya lem sama perangko (ceilah). Jadilah perpisahan itu menjadi hantaman besar dan cukup keras bagi keadaan psikologi kami berdua. Tapi mau bagaimana lagi, demi masa depan yang lebih cerah, kami akhirnya menempuh jalan LDR.  6 bulan berlalu, saya memutuskan cari pekerjaan yang lebih dekat sama keluarga saya di Jawa Timur (karena saya cukup kesepian seorang diri di Jogja), dan bertepatan dengan diterimanya saya di salah satu kampus di Surabaya, pada saat bersamaan, eh lha kok ndilalah cowok saya juga dapat SK penugasan kerja di Gombong, Jawa Tengah - yang mana lebih deket ke Jogja. Lagi-lagi pilihan sulit. Tapi kami memilih mengutamakan karir - demi masa depan cerah dan jenjang karir gemilang - mumpung masih muda kalau kata orang-orang tua.
Awal-awal LDR (yang sesungguhnya) walaupun masih dalam satu pulau, Surabaya-Gombong memang cukup berat. Benar kata orang, bahwa selain pada saat pernikahan, rasa haru paling tulus, serta pembuktian perasaan paling nyata dan jujur adalah pada saat perpisahan di bandara atau stasiun - atau terminal *you named it. Tidak terhitung berapa kali saya sempat mbrebes (tenan iki lek!) di bandara atau stasiun waktu pisah sama cowok saya (ciee). But it's true gaess,, the feeling.. you can't lie. Ritme kerja Senin-Jum'at tentu memaksa kami hanya bertemu pada saat weekend, itupun ndak bisa sering-sering karena tentu faktor budget yang harus diperhitungkan dan dipertimbangkan. Pernah sekali saya nangis kuenceng banget sehabis pulang dari nganter doi ke stasiun. Di jalan naik motor itu udah gak sesenggukan lagi, tapi nangis kaya abis nonton drama Korea yang super sedih! Untung saya pake masker mulut, jadi gak kelihatan, tapi ya kaca helm jadi burem gitu. Ya cukup sekali itu, lain-lainnya biasanya sih cuma nyesek-nyesek doang, atau kadang ya mbrebes tadi. Yah mungkin pas nangis bombay itu didukung pada saat saya PMS juga kali *alibi, makanya perasaannya jadi over begitu, merasa melas dan hyungalah kok nelongso.
Tanpa disadari, tahun 2017 adalah tahun ke-4 kami menjalani LDR. Tentu selama itu banyak sekali cobaan dan kendala yang terjadi, gak usah disebutkan kayaknya semua pasangan pasti mengalami. Bedanya ini long distance relationship, jadi agak sedikit beda dan lebih spesial lagi penanganannya. Oke untuk hubungan LDR ini diperlukan sifat serta sikap yang :
- tidak manja alias mandiri, bukan bca *hmm
- bisa dipercaya
- jujur
- berkomitmen
- mampu mengkomunikasikan maksud dengan baik, jelas, dan gamblang
- mampu menyisihkan waktu untuk saling berkomunikasi


Memang kata orang, untuk hubungan LDR komunikasi itu penting. Dan kenyataannya, komunikasi itu memang amat sangat penting apalagi buat hubungan LDR seperti saya yang sudah berjalan beberapa tahun ini. Awal-awal saya ini adalah tipe cewek yang manja minta ampun. Jadi ya syock berat kalau apa-apa jadi sendiri. Nyari makan beserta makannya harus terbiasa sendiri, service motor sendiri, ke bengkel sendiri, ngurus pajak sendiri, apalagi nyuci baju, ya pasti sendiri *hmm. Tapi seiring berjalannya waktu, saya semakin tumbuh menjadi gadis yang mandiri (hoho). Dah, pokoknya intinya sekarang jadi lebih bisa handle dan act cool in this kamvret long distance relationship.
Balik lagi ke ulasan 'mengapa saya kok gak nikah-nikah?' Hmmm.. ada beberapa alasan krusial (terutama menyangkut dari diri saya sendiri). Selain belum siap secara batin untuk melepas masa lajang, saya tetap merasa usia lah yang menjadi penentu keputusan untuk menikah (walaupun banyak yang bilang jangan nikah karena faktor U) tapi kan tetep aja umur itu faktor nomor satu. Walaupun sudah bekerja, saya merasa belum siap secara mental dan finansial untuk menjadi seorang istri, seorang ibu, membina rumah tangga, mendedikasikan hidup saya untuk suami - ngurusin dia, ngurus rumah, ngurus keuangan keluarga, membesarkan beberapa orang anak. Terkadang kalau dipikir-pikir lagi, saya bisa tambah males tuh nikah kalau udah mikirin yang begituan. Selalu kepikiran, "ih enak lajang, bebas nggak ngurusin siapa-siapa, uang ya dipakai-pakai sendiri, bebas kemana-mana", dan keunggulan-keunggulan lainnya. Yah sebenarnya bagi saya, cinta itu bukan segalanya. Semakin dewasa gini, saya semakin sadar kalau kemapanan finansial adalah segalanya. Eh tapi gak boleh gitu! Jangan ditiru ya! Ini pikiran yang salah kaprah pokoknya! Karena semakin tua nanti, pasti saya membutuhkan anak cucu untuk merawat saya dikala udah usia senja nanti. Pasti sepi sekali rasanya nggak punya suami, anak menantu, dan cucu untuk diajakin bercanda. Toh tujuan hidup kan semata-mata bukan buat nyari uang doang. Yha!

Saya masih ragu untuk menikah karena masih bingung memikirkan keluarga saya nanti bagaimana. Secara calon suami kerjaannya pindah-pindah, gak bisa menetap di satu kota. Sedangkan saya kerja di Surabaya. Masak pacaran udah LDR, nikah masih LDR juga? (yaelah) Kadang gemas juga kalau ada pikiran kaya gini. Tapi ya itulah yang terjadi, itu kenyataannya. Saya harus milih ikut suami dan kerja seadanya di kota suami, atau tetep ngeyel kerja di Surabaya tapi pisah sama suami dan hidup sendirian di Surabaya *hiks. Pilihan ini yang selalu menghantui. Pilihan yang cukup sulit. Dan sepertinya saya tetap akan memilih bekerja di Surabaya, nggak ikut suami. Karena pada dasarnya saya nggak mau jadi beban suami secara finansial, dan saya pengen tetep kerja walaupun udah nikah nanti, ya bisa buat kesibukan dan tambahan keuangan ya to?

Begitulah sepenggal cuplikan kisah pelik kehidupan yang saya alami *hmm. Saya yakin setiap manusia dan pasangan lain di dunia ini menghadapi kisah uniknya sendiri-sendiri. Jadi kita nggak berhak menjudge seseorang hanya berdasarkan penampilan dan sikap yang dia tunjukkan didepan orang-orang. Semua orang punya kisah sendiri, perjuangan sendiri, dan perjalanan sendiri dalam menjalani fase kehidupannya. Jadi, kita sebagai orang lain dimata dia, ya harusnya menghormati, bukan ikut-ikutan ngejudge. Iya gak gaes? Tuh, saya sudah kupas tuntas betapa peliknya hidup saya *halah. Tapi saya nggak pernah nggerundel bahwa life isn't fair. Tuhan sudah kasih yang terbaik buat saya di berbagai lini kehidupan yang lain. Jadi saya sangat bersyukur, cuma kadang (terutama waktu PMS) selalu galau kenapa LDR saya kok nggak selesai-selesai Ya Tuhan? Hiks
"Jadi, kapan nikah?"













0 comments:

Post a Comment

Add Coments Below :